masasih – Mendaki gunung telah menjadi kegiatan yang semakin populer di kalangan pecinta alam dan pencari petualangan. Pemandangan alam yang memukau, udara yang segar, dan perasaan pencapaian setelah mencapai puncak sering kali menjadi alasan utama orang memilih naik gunung. Namun, di balik keindahannya yang memikat, aktivitas pendakian juga menyimpan risiko besar. Salah satu risiko yang paling mengkhawatirkan adalah fenomena orang hilang di gunung.
Setiap tahunnya, berita tentang pendaki yang hilang atau tersesat di gunung menjadi sorotan. Beberapa ditemukan dalam kondisi selamat, namun ada pula yang tidak pernah kembali. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa saja penyebab orang bisa tersesat atau hilang di gunung? Artikel ini akan membahas berbagai faktor penyebab, kesalahan umum, serta langkah pencegahan agar pendakian tetap aman dan menyenangkan.
1. Kurangnya Persiapan Sebelum Mendaki
Salah satu alasan utama orang hilang di gunung adalah karena mereka kurang persiapan. Banyak pendaki, terutama pemula, meremehkan kondisi medan dan cuaca gunung. Tanpa riset mendalam tentang jalur, waktu tempuh, dan tantangan yang akan dihadapi, risiko untuk tersesat atau kelelahan meningkat drastis.
Beberapa bentuk ketidaksiapan yang sering terjadi:
- 
Tidak membawa peta jalur pendakian 
- 
Tidak mengunduh GPS offline 
- 
Tidak membaca informasi dari pendaki sebelumnya 
- 
Tidak mengetahui titik air, pos peristirahatan, atau lokasi rawan 
Gunung bukan tempat untuk coba-coba. Setiap medan memiliki tantangan unik, dan tidak semua gunung cocok untuk pemula.
2. Menyimpang dari Jalur Resmi
Kesalahan fatal yang sering dilakukan oleh pendaki adalah keluar dari jalur resmi. Entah karena penasaran ingin mencoba jalur alternatif, atau hanya ingin buang air dan mencari tempat sepi, menyimpang dari jalur dapat menyebabkan seseorang tersesat dengan cepat.
Beberapa jalur tidak memiliki penanda jelas. Vegetasi yang seragam dan kabut yang turun tiba-tiba dapat membuat pendaki kehilangan orientasi dan sulit menemukan jalan kembali. Bahkan pendaki berpengalaman pun bisa tersesat jika terlalu percaya diri dan mengabaikan penunjuk arah.
3. Tidak Mengetahui Perubahan Cuaca
Cuaca di gunung bisa berubah secara ekstrem dan tiba-tiba. Langit cerah di pagi hari bisa berubah menjadi badai di siang hari. Kabut tebal, hujan lebat, hingga badai petir dapat muncul tanpa peringatan, mengacaukan pandangan dan mengaburkan jalur.
Situasi ini sangat berbahaya karena:
- 
Jarak pandang yang terbatas 
- 
Jalur menjadi licin dan sulit dikenali 
- 
Risiko hipotermia meningkat karena suhu mendadak turun 
Pendaki yang tidak memeriksa prakiraan cuaca sebelum berangkat atau yang tidak membawa perlengkapan tahan cuaca akan sangat rentan dalam kondisi seperti ini.
4. Pendakian Sendirian Tanpa Rekan
Meski mendaki sendiri memberi ketenangan dan ruang refleksi, pendakian solo juga sangat berisiko, terutama jika dilakukan tanpa koordinasi dengan pihak lain. Jika terjadi sesuatu — seperti cedera, kelelahan, atau tersesat — tidak ada orang yang bisa membantu.
Orang yang hilang saat mendaki sendirian sering kali sulit dilacak karena:
- 
Tidak ada saksi yang mengetahui titik terakhir 
- 
Tidak ada komunikasi darurat yang cepat dilakukan 
- 
Tidak ada penanda jalur balik saat panik 
Selalu disarankan untuk mendaki dalam kelompok atau setidaknya memberi tahu orang terdekat tentang rencana dan rute pendakian.
5. Terlalu Mengandalkan Teknologi
Kemajuan teknologi memang membantu aktivitas pendakian, mulai dari peta digital, kompas digital, hingga pelacak lokasi. Namun terlalu bergantung pada teknologi juga bisa berbahaya, terutama jika:
- 
Sinyal hilang di daerah terpencil 
- 
Baterai habis karena penggunaan berlebih 
- 
Alat tidak berfungsi di suhu dingin ekstrem 
Sebaiknya, kombinasikan penggunaan alat digital dengan alat konvensional seperti peta kertas dan kompas analog. Pelajari cara menggunakannya sebelum mendaki.
6. Cedera atau Kondisi Medis Darurat
Cedera kaki seperti terkilir atau patah tulang bisa membuat pendaki tidak bisa melanjutkan perjalanan. Jika terjadi di area tanpa sinyal atau jauh dari pos, mereka bisa tertinggal dan tidak ditemukan dalam waktu lama.
Selain itu, kondisi medis seperti sesak napas, serangan jantung ringan, hingga kelelahan akut bisa menyebabkan orang tidak sanggup berjalan kembali. Jika terjadi saat sendiri atau terpisah dari rombongan, risikonya akan jauh lebih tinggi.
7. Mengikuti Naluri yang Salah Saat Panik
Saat seseorang tersesat, respons alami tubuh adalah panik. Dalam keadaan ini, banyak yang memilih untuk terus berjalan tanpa arah, berharap menemukan jalan kembali. Sayangnya, ini sering membuat mereka semakin jauh dari jalur sebenarnya.
Kesalahan umum yang sering terjadi saat panik:
- 
Menuruni lereng karena terlihat “lebih aman” 
- 
Berlari tanpa orientasi 
- 
Meninggalkan barang penting di belakang 
- 
Tidak berhenti untuk menandai lokasi terakhir 
Dalam situasi tersesat, tetap tenang adalah kunci. Lebih baik diam dan membuat sinyal bantuan dibanding terus bergerak tanpa arah.
8. Kurangnya Pengetahuan Navigasi
Banyak pendaki tidak memiliki kemampuan navigasi dasar. Mereka tidak tahu cara membaca peta topografi, tidak bisa menggunakan kompas, dan tidak mengenali tanda-tanda alam sebagai penunjuk arah.
Dalam kondisi darurat, keterampilan ini sangat penting untuk menentukan arah mata angin, lokasi sungai atau lembah, dan estimasi waktu tempuh. Tanpa pengetahuan navigasi, risiko kebingungan dan tersesat akan sangat besar.
9. Gangguan Mental atau Halusinasi karena Kelelahan
Terlalu lama berada di alam dengan fisik yang sudah sangat lelah bisa menyebabkan gangguan persepsi. Beberapa pendaki melaporkan mengalami disorientasi, halusinasi visual, hingga keputusan yang tidak rasional seperti membuka pakaian di suhu dingin.
Fenomena ini bisa muncul karena:
- 
Kekurangan oksigen 
- 
Hipotermia 
- 
Kelelahan mental yang ekstrem 
Itulah sebabnya penting untuk menjaga stamina dan beristirahat cukup selama pendakian.
10. Faktor Alam dan Mitos Lokal
Beberapa orang percaya bahwa beberapa gunung memiliki “penjaga tak kasat mata” yang bisa “menyembunyikan” orang. Dari sisi rasional, faktor alam seperti kabut tebal, kontur mirip, hingga fenomena akustik yang menyesatkan arah suara bisa menjelaskan mengapa orang merasa bingung arah.
Beberapa lokasi bahkan memiliki cerita mistis yang sudah dikenal luas, seperti pendaki yang tidak sadar berjalan memutar, atau mendengar suara-suara aneh di malam hari. Mitos ini, benar atau tidak, menjadi pengingat bahwa gunung adalah tempat yang harus dihormati.
Upaya yang Dilakukan Jika Ada Orang Hilang di Gunung
Ketika seseorang dilaporkan hilang di gunung, proses pencarian biasanya segera dilakukan oleh tim SAR, relawan, dan komunitas pencinta alam. Prosesnya meliputi:
- 
Tracking jejak terakhir 
- 
Analisis rute dan cuaca saat pendakian 
- 
Penyisiran area rawan 
- 
Penggunaan drone atau anjing pelacak jika memungkinkan 
Namun pencarian tidak selalu mudah. Medan yang sulit, cuaca buruk, dan minimnya informasi bisa membuat proses ini memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Langkah Pencegahan Agar Tidak Hilang di Gunung
Berikut beberapa langkah konkret yang bisa diambil oleh siapa pun yang ingin mendaki agar terhindar dari risiko hilang:
- 
Riset jalur dan kondisi gunung secara menyeluruh 
- 
Beritahukan rencana pendakian kepada orang terdekat 
- 
Bawa alat navigasi dan pelajari penggunaannya 
- 
Bawa logistik cukup dan pakaian tahan cuaca 
- 
Selalu berada dalam kelompok, jangan sendirian 
- 
Tandai lokasi penting selama perjalanan 
- 
Istirahat cukup agar tidak kelelahan 
- 
Bawa peluit, senter, dan power bank cadangan 
- 
Ikuti briefing dari petugas atau pemandu sebelum berangkat 
Kisah-Kisah yang Menjadi Pelajaran
Beberapa kasus pendaki hilang yang sempat viral telah menjadi pelajaran penting bagi dunia pendakian Indonesia:
- 
Kasus Salma di Gunung Bawakaraeng, yang tersesat selama dua hari akibat keluar jalur saat mencari sinyal. 
- 
Hilangnya pendaki di Gunung Semeru, yang ditemukan setelah berminggu-minggu dalam kondisi tidak bernyawa. 
- 
Beberapa kisah tersesat di Gunung Merbabu dan Lawu, yang sering terjadi karena minimnya penanda jalur liar. 
Semua kisah tersebut menegaskan bahwa keselamatan adalah prioritas utama.
Nikmati Gunung, Tapi Jangan Abaikan Risiko
Mendaki gunung adalah pengalaman luar biasa. Keindahannya mampu menyegarkan pikiran dan memperkaya jiwa. Namun di balik pemandangan yang menawan, gunung menyimpan potensi bahaya yang tak boleh dianggap remeh.
Dengan persiapan yang matang, pengetahuan navigasi dasar, dan sikap hormat terhadap alam, risiko seperti hilang di gunung bisa diminimalkan. Jadikan keselamatan sebagai prinsip utama dalam setiap perjalanan. Karena sejatinya, petualangan terbaik adalah yang bisa kita ceritakan dengan bahagia saat kembali pulang.…
